MEKANISME REAKSI SUBSTITUSI NUKLEOFILIK SN1
Dalam kimia, nukleofil adalah reagen yang membentuk ikatan kimia terhadap partner reaksinya. Nukleofil
adalah sebuah spesies (ion atau molekul)
yang tertarik kuat ke sebuah daerah yang bermuatan positif pada sesuatu yang
lain. Nukleofil bisa berupa ion-ion negatif penuh, atau memiliki muatan yang
sangat negatif pada suatu tempat dalam sebuah molekul. Nukleofil-nukleofil yang
umum antara lain ion hidroksida, ion sianida, air dan amonia.
Perhatikan bahwa masing-masing nukleofil pada gambar di atas mengandung
sekurang-kurangnya satu pasangan elektron bebas, baik pada sebuah atom yang
bermuatan negatif penuh, atau pada sebuah atom yang sangat elektronegatif yang
membawa muatan
- yang cukup besar.
Nukleofilitas adalah ukuran kemampuan suatu pereaksi untuk menyebabkan
nukleofil melakukan reaksi substitusi. Bila
suatu reaksi substitusi melibatkan nukleofil, maka reaksi tersebut disebut
substitusi nukleofilik (SN), dimana S menyatakan substitusi dan N menyatakan
nukleofilik. Pada kimia organik maupun anorganik, substitusi
nukleofilik adalah suatu kelompok dasar reaksi substitusi, dimana sebuah nukleofil yang "kaya" elektron, secara selektif berikatan dengan atau
menyerang muatan positif dari sebuah gugus kimia atau atom yang disebut gugus lepas (leaving group).
Spesies yang bertindak sebagai penyerang adalah nukleofil (basa Lewis),
yaitu spesies yang dapat memberikan pasangan elektron ke atom lain untuk
membentuk ikatan kovalen. Perubahan yang terjadi pada reaksi ini pada dasarnya
adalah: suatu nukleofil dengan membawa pasangan elektronnya menyerang substrat
(molekul yang menyediakan karbon untuk pembentukan ikatan baru), membentuk
ikatan baru dan salah satu substituen pada atom karbon lepas bersama
berpasangan elektronnya.
Bentuk umum reaksi ini adalah :
Nu: + R-X → R-Nu + X:
Dengan Nu menandakan nukleofil, : menandakan pasangan elektron,
serta R-X menandakan substrat dengan gugus pergi X. Pada reaksi tersebut,
pasangan elektron dari nukleofil menyerang substrat membentuk ikatan baru,
sementara gugus pergi melepaskan diri bersama dengan sepasang elektron. Produk
utamanya adalah R-Nu. Nukleofil dapat memiliki muatan listrik negatif ataupun netral, sedangkan substrat biasanya netral atau
bermuatan positif.
Contoh substitusi nukleofilik adalah hidrolisis alkil bromida, R-Br, pada kondisi basa, dimana nukleofilnya
adalah OH− dan gugus perginya adalah Br-.
R-Br + OH− → R-OH + Br−
Reaksi substitusi nukleofilik
sangat umum dijumpai pada kimia organik, dan reaksi-reaksi ini dapat
dikelompokkan sebagai reaksi yang terjadi pada karbon alifatik,
atau pada karbon aromatik atau karbon tak jenuh lainnya (lebih jarang).
Jika nukleofil penyerang dinyatakan dengan lambang Y: atau Y dan
substratnya R-X; maka persaman reaksi substitusi nukleofilik dapat dituliskan
secara sederhana sebagai berikut:
R – X +
Y- à R – Y + X-
Gugus pergi adalah substituen yang
lepas dari substrat, yang berarti atom atau gugus apa saja yang digeser dari
ikatannya dengan atom karbon. Substrat bisa bermuatan netral atau positif,
sedangkan nukleofil bermuatan netral atau negatif. Pada umumnya nukleofil
adalah ion yang bermuatan negatif (anion), tetapi beberapa molekul netral dapat
pula bertindak sebagai nukleofil, contoh: H2O, CH3OH, dan
CH3NH2. Hal ini disebabkan karena molekul-molekul netral
tersebut, memiliki pasangan elektron menyendiri yang dapat digunakan untuk
membentuk ikatan sigma dengan atom C substrat. Dalam reaksi substitusi
nukleofilik bila nukleofilnya H2O atau -OH disebut reaksi
hidrolisis, sedangkan bila nukleofil penyerangnya berupa pelarut disebut reaksi
solvolisis. Dengan demikian maka reaksi substitusi nukleofilik dapat dituliskan
dalam 4 macam persamaan reaksi, yaitu:
Nu: – +
R – L → Nu
– R + L: –
Nu: +
R – L → Nu+
– R + L: –
Nu: – +
R – L+ → Nu
– R + L:
Nu: – +
R – L+ → Nu+
– R + L:
Keterangan :
Nu : atau Nu:¯ adalah nukleofil
L : atau L:¯ adalah gugus pergi
Ion atau molekul yang merupakan basa yang sangat lemah, seperti I¯, Cl¯,
Br¯merupakan gugus pergi yang baik, karena mudah dilepaskan ikatannya dari atom
C substrat. Sedangkan nukleofil yang baik adalah nukleofil yang berupa basa
kuat. Menurut kinetikanya, reaksi substitusi nukleofilik dapat di
kelompokkan menjadi reaksi SN1 dan SN2.
Tahapan reaksi substitusi nukleofilik unimolekuler, SN1
Reaksi substitusi nukleofilik
yang laju reaksinya hanya tergantung dari konsentrasi substrat dan tidak
tergantung pada konsentrasi nukleofil
disebut reaksi SN1 atau reaksi substitusi nukleofilik unimolekuler. Reaksi SN1 terdiri
dari dua tahap. Tahap pertama melibatkan ionisasi alkil halida menjadi ion
karbonium, berlangsung lambat dan merupakan tahap penentu reaksi. Tahap ke dua
melibatkan serangan yang cepat dari nukleofil pada karbonium. Contoh dari
reaksi substitusi nukleofilik unimolekuler adalah hidrolisa tersier butil
bromida. Tersier butil halida dan alkil halida tersier lainnya, karena keruahan
strukturnya (rintangan sterik) tidak bereaksi secara SN2. Tetapi
bila t-butilbromida direaksikan dengan suatu nukleofil yang berupa basa yang
sangat lemah (seperti H2O atau CH3CH2OH),
memberikan hasil substitusi SN1.
CH3 CH3
|
|
CH3 – C – Br + CH3CH2 OH 250C CH3 – C – O – CH2
– CH3 + HBr
| |
CH3 CH3
t-butil bromida etanol etil-t-butil eter
CH3 CH3
|
|
CH3 – C – Br
+ H2 O 250C CH3 – C – OH + HBr
|
|
CH3 CH3
t-butil bromida t-butil alkohol
Hasil reaksi substitusi yang
diperoleh pada reaksi SN1 berbeda dengan hasil substitusi yang
diperoleh pada reaksi SN2. Sebagai contoh bila dalam reaksi SN1
digunakan substrat suatu enantiomer murni dari alkil halida yang mengandung
atom C kiral, akan diperoleh hasil substitusi yang berupa campuran rasemik dan
bukannya hasil inversi konfigurasi seperti yang diperoleh pada reaksi SN2.
Disamping itu diperoleh kesimpulan bahwa pada reaksi SN1 pengaruh
konsentrasi nukleofil terhadap laju reaksi keseluruhan sangat kecil. Hal ini
berlawanan dengan reaksi SN2 yang laju reaksinya berbandingan lurus
dengan konsentrasi nukleofil. Tersier -butil bromida dapat bereaksi SN1
dengan ion hidroksida.
CH3 CH3
| |
CH3 – C – Br
+ OH- CH3 – C – OH +
Br-
|
|
CH3 CH3
t-butil bromida
t-butil alkohol
Reaksi
SN1 t- butil bromida dengan gugus OH- diatas merupakan
reaksi bertahap. Tahap pertama adalah pemutusan ikatan C-Br membentuk sepasang
ion yaitu ion bromida dan karbokation (suatu ion dengan muatan positif pada
atom C). Karena pada reaksi ini melibatkan pembentukan ion, maka reaksi ini
dibantu oleh pelarut polar seperti H2O dengan cara menstabilkan ion
yang terbentuk melalui proses solvasi. Mekanisme reaksinya adalah sebagai
berikut:
Tahap
1 : Pembentukan karbokation
CH3 CH3 CH3
| | +
- |
CH3 – C – Br
CH3 – C
----Br CH3 – C+ + Br-
| | |
CH3 CH3 CH3
Keadan transisi zat antara
karbokation
Tahap
2 : Penggabungan karbokation dengan nukleofil (OH¯) menghasilkan alkohol
CH3 CH3
| |
CH3 – C – Br CH3 – C – OH
| |
CH3 CH3
Tahap
1 merupakan tahap penentu reaksi, karena berjalan lambat. Pada tahap ini
terjadi ionisasi t-butil bromida membentuk karbokation tersier-butil dan ion
bromida. Laju reaksi pada tahap ini hanya tergantung pada konsentrasi t-butil
bromida dan tidak tergantung pada konsentrasi ion OH¯.
Diagram perubahan energi reaksi SN1
Solven dapat mempengaruhi laju
reaksi. Beberapa solven berinteraksi dengan ion karbonium dan menstabilkannya.
Akibatnya, ∆G akan turun dan reaksi berjalan lebih cepat. Solven,
mis: air dan metanol adalah bagus untuk mensovasi ion karbonium, non polar
solvent, seperti hidrokarbon jelek dalam mensolvasi ion. Alasan
pengaruh solven pada reaksi SN1 dan SN2 berbeda. Pada SN2,
reaksi berjalan dengan cepat dalam polar aprotik solven, dan berjalan lebih
lambat dalam protik solven, ( energi ground-state dari nukleofil yang menyerang
diturunkan oleh adanya solvasi yang menyebabkan naiknya ∆G).
Pada reaksi SN1, reaksi berjalan baik pada polar protik soven,
karena tingkat energi transition-state lebih diturunkan dibanding energi
ground-state dari nukleofil. Selain itu tahap penentu kecepatan adalah
pembentukan karbokation.
Oleh karena reaksi SN1 dari alkil halida tersier adalah dengan pelarut (misalnya air atau alkohol), maka reaksi ini disebut reaksi solvolisis (dari kata “solvent” dan kata Yunani lysis yang berarti pembebasan-loosening atau pemecahan).
Reaksi alkil halida dengan jalan SN1 hanya terjadi dalam keadaan nukleofil lemah karena nukleofil dengan sifat basa yang lebih kuat akan menghilangkan reaksi yang dihasilkan adalah alkena. Nukleofil lemah pun akan mengalami eliminasi.
A. KARAKTERISTIK REAKSI SN1
Reaksi SN1 berlawanan dengan reaksi SN2. Reaksi SN1 menyukai substrat yang lebih rapat streik seperti (CH3)3CBr dengan nukleofilik netral (H2O). Reaksi SN1 berlangsung dengan cepat, sedangkan reaksi SN2 berlangsung sangat lambat. Urutan kecepatan reaksi adalah sebagai berikut:
1 . Kinetika reaksi SN1
Kecepatan reaksi antara t-butil klorida dengan H2O ternyata hanya bergantung pada konsentrasi substratnya saja dan tidak oleh konsentrasi nukleofilik. Reaksi semacam ini disebut reaksi orde satu.
Kecepatan reaksi = kecepatan berkurangnya alkil halida
= k x [RX]
Berikut ini adalah mekanisme reaksi SN1 dari 2-bromo-2-metil propana dengan H2O. Rate limiting step (Tahap yang paling lambat), yaitu pembentukan karbokation.
Reaksi SN1 melalui karbokation memiliki konsekuensi streokimia yang berbeda, dimana karbokation mempunyai bentuk planar dan hibridisasi sp2. Produk reaksinya adalah campuran rasemat yang tidak aktif optik. Sebagai contoh, reaksi antara (R)-6-kloro-2,6-dimetiloktana dengan H2O/C2H5OH menghasilkan campuran rasemat (40% retensi dan 60% inversi).
Berikut ini adalah gambaran streokimia reaksi SN1 substrat yang khiral.
2 . Faktor yang menentukan reaksi SN1
reaksi substitusi pada SN1 juga dipengaruhi oleh pelarut, gugus pergi, substrat, dan sifat nukleofilik. Kecepatan yang paling lambat (rate limiting step, SN1) dari reaksi ini adalah pembentukan ion karbonium. Oleh karena itu, reaksi SN1 akan lebih cepat jika kestabilan karbokation makin tinggi sehingga 3o > 2o, alil karbokation, benzil karbokation > 1o > -CH3.
Gugus Pergi
Seperti yang telah dibicarakan pada reaksi SN2 bahwa gugus pergi yang baik harus yang paling stabil, merupakan basa konjugasi dari asam kuat. Reaktivitas gugus pergi untuk reaksi SN1 sama dengan reaktivitas untuk SN2. Urutan reaktifitasnya adalah sebagai berikut:
TosO- > I- > Br- > Cl- = H2O
Paling reaktif kurang reaktif
Nukleofilik
Nukleofilik sangat besar peranannya terhadap reaksi SN2, namun tidak demikian terhadap reaksi SN1. Sebagai contoh, reaksi antara 2-metil-2-propanol dengan HX terjadi dengan kecepatan yang sama baik menggunakan Cl, Br, atau I.
Pelarut
Efek pelarut terhadap reaksi SN1 adalah sejauh mana pelarut dapat menstabilkan intermediet karbokation. Molekul pelarut mengorientasikan dirinya di seputar kation sehingga muatan negatif akan berhadapan dengan muatan positif seubetratnya. Berikut ini diperlihatkan solvasi ion karbonium oleh H2O. Elektron-elektron pada atom oksigen menghadap muatan ion karbonium sehingga menstabilkan muatan positif.
Reaksi SN1 berlangsung lebih cepat dalam pelarut polar dibandingkan dengan pelarut nonpolar. Urutan reaktivitas reaksi 2-kloro-2-metilpropana dalam pelarut yang berbeda adalah sebagai berikut:
Air larutan etanol 80% larutan etanol 40% etanol
Paling reaktif → kurang reaktif
Reaksi 2-kloro-2-metilpropana dengan pelarut adalah sebagai berikut:
(CH3)3CCl + ROH (CH3)3COR + HCl
B. MEKANISME SN1
Marilah kita lihat mekanisme SN1 untuk reaksi t-butilklorida dengan H2O.
Tahap 1, Ionisasi (dalam urutan, yang paling lambat):
Tahap2, kombinasi
Tahap 3, pelepasan H+ pada pelarut-reaksi asam-basa
Tahap akhir dalam solvolisis dari suatu alkil halida adalah lepasnya sebuah proton oleh alkohol berproton atau eter. Reaksi ini adalah reaksi asam-basa dan sebetulnya bukan bagian dari mekanisme SN1. Jalan SN1 adalah reaksi dua tahap: (1) ionisasi dari alkil halida menghasilkan karbokation intermediat (2) penyatuan dari karbokation dengan nukleofil.
Jika reaksi SN2 terjadi pada karbon kiral, konfigurasi karbon menjadi berubah dalam hasil reaksi. Dalam reaksi SN1 pada karbon kiral dari alkil halida yang optis aktif, terjadi rasemisasi. Rasemisasi adalah perubahan dari sebuah enansiomer menjadi suatu campuran rasemik. Pengamatan dari tahap pertama reaksi ini memperlihatkan mengapa terjadi hal ini.
Ionisasi pada tahap 1, akan membentuk karbokation planar akiral. Masuknya sebuah nukelofil dapat terjadi dari kedua arah atom karbon yang bermuatan positif itu dan menghasilkan hasil akhir. Beberapa karbokation bereaksi untuk membentuk hasil (R) sedangkan karbokation bereaksi untuk membentuk hasil (S). Hasilnya adalah campuran (R) dan (S), suatu rasemik.
Energi dalam reaksi SN1
Pada gambar di bawah ini adalah gambaran energi untuk mekanisme SN1 dua tahap, yaitu: ionisasi disusul dengan penyatuan karbokation intermediet dengan sebuah nukleofil. Oleh karena ionisasi reaksinya lambat, energi dari keadaan transisi adalah titik yang tertinggi dalam diagram. Karbokation intermediat-energinya tinggi dan reaktif-ditunjukkan sebagai lekukan dalam diagram energi.
Reaksi dari alkil halida dalam reaksi SN1
Reaksi solvolisis dari metil halida dan alkil halida primer dan sekunder sangatlah lambat dibandingkan dengan solvolisis alkil halida tersier.
Kecepatan relatif dari solvilisis dalam H2O (air):
CH3Br CH3CH2Br (CH3)2CHBr (CH3)3CBr
1 1 12 1.200.000
Perbedaan dalam kecepatan relatif dapat dipakai sebagai ciri dari stabilitas karbokation. Metil halida dan halida primer tidak mengalami tahap 1, tahap ionisasi dari halida sekunder sangat lambat.
Berdasarkan stabilitas karbokation maka reaktifitas relatif dari alkil halida dalam reaksi SN1 adalah:
Yang menarik adalah bahwa alkil dan benzil halida walaupun primer, tetapi mudah mengadakan reaksi solvolisis, hampir sama cepatnya dengan halida tersier. Bahkan dalam beberapa hal lebih cepat, karena adanya stabilitas karbokation. Alilik dan benzil halida dapat mengadakan ionisasi karena karbokationnya terionisasi secara stabil.
DAFTAR PUSTAKA
Fessenden RJ and JS. Fessenden, Kimia Organik, Jld 1 dan 2, 3ed. Fessenden RJ and JS.
Riswiyanto. 2009. Kimia Organik. Jakarta: Erlangga
Sukmariah,dkk.2010. Dasar Dasar Kimia Organik. Tangerang: Bina Rupa Aksara
PERMASALAHAN
1. Pada mekanisme SN1 hanya satu dari dua pereaksi yang terlibat, yaitu substrat Sedangkan pada SN2 menyatakan bahwa reaksi adalah bimolekuler, yaitu nukleofil dan substrat, Nah bagaimanakah hal ini bisa terjadi,?
2. Mengapa laju reaksi dari reaksi SN1 tidak tergantung pada konsentrasi nukleofil ? tolong jelaskan.
3. Bagaimana perbandingan mekanisme substitusi SN1dan SN2 dengan
keadaan-keadaan lain, seperti keadan pelarut, struktur, dan nukleofil secara
spesifik ?
mohon dibantu ya teman-teman :)
Assalamu'alaikum
BalasHapusSaya Anis Nabila (RSA1C117014)
ingin mencoba menjawab permasalahan no 1,menurut saya sendiri untuk reaksi SN1 ikatan pada karbon dengan gugus pergi putus dimana gugus pergi ini lepas akan membawa sepasang elektron dan terbentuk ion karbon nya tahap ini terjadi lambat sehingga pereaksi yg terlibat hanya substrat, sedangkan untuk reaksi SN2 saat nukleofil dan gugus pergi berasosiasi dg karbon terjadilah substitusi yang akan membuat gugus pergi membawa sepasang elektron dan nukleofil itu sendiri memberi pasangan elektronnya untuk pasangan elektron dan karbon.
Semiga bermanfaat, terimakasih
Saya idkhom kholid dengan nim RSA1C117015
BalasHapusakan mencoba menjawab pertanyaan no 2.
Karena rekasi SN1 hanya bergantung pada konsentrasi subtrat nya karena sesuai nama nya yaitu SN1 merupakan reaksi subtitusi